Jumat, 03 April 2015

EDISI - 04 BURDAH

Edisi 04 Burdah
Kamis 28 Nov 2013
                           
SAUDARAKU,
CINTA ITU TIDAKLAH HANYA BUTUH PENGAKUAN
Shollatulloh Salammulloh alaa Thohaa Rosulillaah, Sholatulloh Salammulloh
alaa Yasiin Habibiilaah tawassalnaa bi-Bismillaah wa-bil-Haadi Rosulillaah.
“ Ayahsabush shobbu annal hubba munkatimun,maa baina munsajimin minhu wamudlhorimi ”
(Pernahkah engkau menduga bahwa cintamu itu tidaklah bisa kau sembunyikan diantara   deras
air mata yang mengalir dan api perasaan  yag menyala-nyala dihatimu ketika engkau sedang dirundung kangen).
Mari renungi kembali tentang  sebuah dasar kehidupan yang Alloh telah konsepkan dengan
sempurna, sejak asal muasal penciptaan manusia. Sebuah konsep bahwa kita diciptakan tidak
lain dan tidak bukan hanya untuk beribadah kepada Alloh, dan ketika Alloh memutuskan untuk
mengutus para Nabi & Rosull sejak  Adam A.S hingga Rosull Muhammad. Konsep itu kemudian
menjadi acuan dasar hidup setiap makhluk ciptaan-NYA. Kemudian konsep itu terutama  oleh
Rosululloh Muhammad S.A.W diterjemahkankan sekaligus dicontohkan dengan sempurna sederhana
tanpa mengurangi esensi mulia sempurnanya konsep itu sendiri, yakni selain mencontohkan dan
mengurai dasar terpenting dari ibadah itu sendiri yakni ikhlas dan berbagi, namun juga
sekaligus menyempurnakan akhlak dan  menjadi Rahmatan lil-Alamin. Rosull Muhammad tidak
hanya menjelaskan teori beribadah saja, akan tetapi juga mengaplikasikannya ke dalam semua
sendi kehidupan, bahkan Beliau lebih banyak mempraktekannya terlebih dahulu baru kemudian
teorinya. Perlu dimengerti beribadah itu tidak hanya menjalankan ibadah mahdoh semata, akan
tetapi semua hal perilaku kita harus kita landasankan ibadah kepada Alloh.  Dan ibadah itu
bisa berbentuk apa saja tergantung dimana kita meletakkannya dan bagaimanakah niat kita,
sebab jika semua perbuatan kita diniatkan untuk beribadah kepada Alloh, niscaya semua akan
indah. Lalu apakah hubungan ibadah dengan bait ke-empat dari kasidah al-Burdatul-Madih..?
bukankah bait ini masih menceritakan rasa cinta yang oleh Sang Imam Bushiri, serupakan tak
bisa disembunyikan  meski dengan derasnya air mata..?. Mari renungi, buka hati dan pikiran
kita seluas-luasnya untuk lebih mengerti dan menemukan dimana letak keterkaitan ibadah dan
bait keempat tersebut, tidak usahlah kita melihat dan mengukurnya dari ukuran kebaikan diri
sendiri dan kesalahan orang lain, akan tetapi coba cermati dari sebuah hal apakah ibadah-
ibadah kita sudah mengajari diri kita sendiri untuk tidak bisa lagi menahan air mata dan
kobaran api cinta kepada Alloh dan Rosull Muhammad yang hatinya penuh kasih sayang itu.
Bukankah ibadah dan beribadah itu belajar mencintai dan mendekatkan kita kepada asal muasal
segala sebab dan asal muasal cinta yakni Alloh ar-Rohman Maha cinta. Dan bukankah jika kau
ingin hidupmu bahagia dunia akherat kau harus menanam cinta yang meluas dan mendalam kepada
Alloh dan Rosullulloh. Dan bukankah seringkali air mata itu bisa menjadi tanda keikhlasan
dan kejujuran ungkapan perasaan. Bukan dari harapan kita akan buah yang dihasilkan dari
amaliah ibadah kita atau dari besar kecilnya apa yang telah kita amalkan. Alloh tidak
menilai kita dari tinggi rendahnya tingkat status sosial kita, tidak pula menilai kita dari
sebanyak apapun pengakuan bahwa kita mencintai Alloh dan Rosull Muhammad S.A.W, akan tetapi
yang dinilai Alloh, ialah tingkat kepatuhan kita kepada-NYA. Tapi tunggu dulu, benarkah
kita ini sudah sungguh patuh kepada Alloh..? sedang kepada Rosululloh saja  kita masih
setengah hati, masih memamerkan pengakuan semu dan palsunya cinta kita kepada Beliau.   
Patuhkah kita kepada (Alloh dan Rosullulloh), Saudaraku tercinta, ibadah dan cinta itu
tidaklah hanya membutuhkan pengakuan, cinta sejati dan keikhlasan tidak butuh untuk
dipamerkan, jauh dan dalamnya pengetahuan ruhaniah kita juga tidak untuk dipamerkan apalagi
untuk menakuti orang lain, cinta serta kedekatan kita kepada Alloh, Rosululloh, para
Mursyid tidak untuk kita salah gunakan untuk memuliakan diri dan merendahhkan  orang
lain..!!!  Berhati-hatilah saudaraku  yang suka gagah berani membuat pengakuan cinta kepada
Alloh dan Rosull Muhammad, sebab Alloh membutuhkan bukti dari  pengakuan-pengakuan yang
telah engkau buat. Dikisahkan tentang seorang lelaki yang mendatangi Rosull Muhammad dan
berkata ” Saya mencintai Engkau ya Rosull,” berhati-hatilah atas perkataanmu” jawab sang
Nabi, sekali lagi lelaki itu mengulang, ”saya mencintai Engkau” berhati-hatilah atas
perkataanmu ”Rosull memperingatkan kembali, tetapi ketiga kalinya dia mengatakan ”saya
mencintai Engkau” sekarang diam dan teguhlah, jawab Rosull,” karena aku akan meminta
buktinya bahwa kamu benar-benar mencintaiku dan bersiaplah untuk menderita karena cintamu 
kepadaku tersebut. Itulah yang menjadikan sebab Imam Bushiri mencoba menyembunyi-kan rasa
kangen dan kobaran api cintanya yang begitu menyala dengan derasnya tetesan air mata.    
Sebab Beliau takut jika cintanya, ibadahnya, perjalanan Ruhaninya belum dengan sepenuh jiwa
dan keikhlasan, meski toh pada akhirnya tetap tidak bisa Beliau sembunyikan. Allohu Robbi,
sungguh berbedanya dengan diri kita, mungkin kita seolah tak perduli lagi, apa kita hanya
mengaku cinta kepada Alloh dan Rosull Muhammad ataukah tidak, sebab yang kita pentingkan
saat ini adalah tingkat tinggi rendahnya kemuliaan dan kehebatan kita dari pada orang lain.
Tentang seberapa alim dan pintarnya kita dibandingkan orang lain, padahal kita ini masih
terbata mengeja Alif, ba, ta kehidupan, masih tergagu memahami apa itu ridlo dan
keikhlasan, terdiam tak bisa membedakan apa itu kesejatian apa itu kepalsuan. Saudaraku
tercinta, kita ini takkan  pernah bisa lari dari cinta, kata hati nurani, dari waktu, dari
kewajiban kita untuk berbuat baik, sekuat apapun kita beralasan atau menghindari pada
akhirnya kita hanya bisa tertegun sendirian dengan penyesalan,  bahwa kenapa baru sekarang
aku mengalirkan air mata keikhlasan, kenapa setua ini baru aku merasa kurang terhadap
pengetahuan soal belajar menanam cinta yang mendalam kepada Alloh dan Rosull-Nya. Tapi,
jangan cuma menyesal, jangan hanya bersedih, mulailah berbenah diri dan mulailah sebuah
perubahan mulai sekarang dan dari diri sendiri.

DEMENSI HENING
* Khoirrun-nass anfaa’uhum li-nass, sebaik-baik manusia adalah yang
bermanfaat,yang menumbuhkan kebaikan bagi sesama dan sekitarnya (al-Hadits).
** Jangan memandang dosa-dosa orang lain seolah-olah kamu
Tuhan, perhatikanlah dosa-dosamu sebagai hamba dan kasihanilah mereka yang sedang mendapat
coba dan bersyukurlah bahwa kamu selamat.  (Malik ibn anas)

ANGKRINGAN SUFI
Dari kejauhan nampak Kang Sarengat agak senyum-senyum terasa bahagia kaya habis mendapatkan
sesuatu yang berharga, sementara itu Kang Hakekat hanya bisa mengawasi dari kejauhan dan
sambil bertanya-tanya dalam hatinya, sebenarnya ada apa dalam diri Kang Sarengat. Setelah
keduanya bisa bertatap muka dan saling bersalaman kemudian mereka ngobrol seperti biasanya.
Sambil tetawa lapas Kang Sarengat mengutarakan kebahagiaanya pada Kang Hakekat.
Kang Sarengat    : Kang… menurut Sampean bagaimana sikap kita setelah Mursyid mengangkat
kita semua dari jama’ah menjadi santri.
Kang Hakekat    : Oh jadi begitu critanya, pantas saja dari tadi tak lihat kaya gembira
sekali…? Ya menurut saya mestinya kita semua harus membenahi diri kita, seperti yang pernah
disampaikan oleh Beliau, bahwa kata Santri itu ora baen-baen. Karena mengandung makna yang
luar biasa, yakni “SAN” itu dari kata Insan/manusia,     “T” artinya Taqwa dan “RI” artiya
Riyadhoh. Jadi kata santri menunjukan atau bermakna seorang manusia yang taqwa dan seneng
melakukan riyadhoh, dan kata Riyadhoh sendiri bisa berarti suatu laku prihatin dalam rangka
untuk mendapat suatu yang diharapkan yaitu ridlo Allah tentunya sebagai pelaksanaan kata
taqwa di depannya.
Kang Sarengat    : Terus apakah termasuk melaksanakan perintah-perintah Mursyid juga
termasuk riyadhoh Kang…… ?
Kang Hakekat    : Itu sudah pasti, sebab bagaimana mungkin kita bisa menjadi santri yang
benar kalau kita tidak mau menjalankan perintah-perintah dari Sang Mursyid, sebab kata
santri juga berasal dari bahasa sansekerta yaitu “ SAN “ berarti Suci, TRI berarti tiga,
jadi santri bisa bermakna manusia yang mempunyai Tiga kesucian yakni Iman, Islam dan
Ikhsan. Jadi dalam mencapai Tiga kesucian ini, kita semua takkan sampai tanpa adanya
petunjuk-petunjuk dari Sang Mursyid, yang biasanya di sampaikan melalui perintahnya untuk
melatih kepekaaan, kecerdasan, ketulusan dan keikhlasan hati kita semua.
Kang Sarengat    : Oh… jadi begitu tho Kang, mungkin bagian kacil dari metamorfosa yang
sesungguhnya. Secara harafiah kita semua diangkat dari Jama’ah menjadi santri tapi pada
hakekatnya ini sebuah perintah untuk kita semua untuk Riyadhoh , ini sebuah perintah untuk kita semua.
Kang hakekat    : Subhanallah,… otakmu kian mencair Kang, Allah betul-betul memberkatimu
semoga kita semua tidak lagi menjadi santri yang “NDAL-NDUL” Seperti kata saudara kita
kemarin di forum Jabarantas.
Kang Sarengat    : Ya..ya nyambung Kang…… teryata begitu tho makna yang sebanarnya, wahkalau begitu ya berat juga ya tiwas sudah (GR) sambil garuk-garuk kepala.

0 komentar:

Posting Komentar