Senin, 06 April 2015

EDISI - 18 BURDAH

Edisi 18 Burdah
Kamis 28 Agustus 2014

“Jangan Didik Dengan Kebencian”               
Huwal Habiibul ladzi turja syafa'atuhu  Li-kulli haulin minal ahwaali muqtahami
Wan nafsu kat-thifli in tuhmilhu shabba 'alaHubbir rodo'i wa in taftimhu yanfathimi       
(Dan sungguh hawa nafsu laksana bayi,yang tidak akan sukarela berhenti
ingin terus disusui oleh ibundanya, meskipun dengan terpaksa, sang ibu harus menyapihnya)
Ada banyak cara untuk mendefinisikan apa itu rasa sayang dan cinta, beribu-ribu kertas dan
penapun akan selalu kurang untuk menuliskan teori-Nya, begitupun jika kita berbicara
tentang hawa nafsu dan dimensi anehnya, yang kadang kita sadari ataupun tidak, sudah begitu
memimpin arah hidup kita. Sudah sangat menguasai seantero ruang hati dan mungkin penilaian
dan pemahaman kita. Sangat banyak orang yang begitu fasih ketika berbicara soal cinta dan
kasih sayang. Soal cara menaklukan ego diri sendiri, soal hawa nafsu dan dimensi
keanehannya, sangat berapi-api ketika berbicara soal-soal kebaikan, namun ”Dlahom”
(tergagap, tak bisa apa-apa) di penarapan dan prakteknya. Sebab toh teori hanyalah jadi
teori dan kata-kata semata, jika yang menceritakan dan menteorikannyapun belum sanggup
menaklukan ego dirinya, belum menyelami makna cinta kasih, belum berdialog dengan hati dan
hawa nafsunya, belum mengembara jauh kedalam hatinya untuk memulai perjalanan panjang
kembali kepada Alloh melalui Rosululloh saw. Begitu juga dengan kebaikan, hanya bertahan
jadi kebaikan, hanya bertahan pada wacana dan angan-angan semata. Jika tidak kita hijrahkan
kepada dimensi kebenaran dan berujung kepada keindahan dan jadi indah bermanfaat bagi
kehidupan. Namun untuk benar-benar bermanfaat kebaikan haruslah berdiri sejajar dengan
kebenaran dan keindahan, begitupun kebenaran juga harus baik dan indah.
Bukankah nasi itu baik, namun hanya bertahan jadi nasi, jika tidak kita ambil manfaatnya,
dengan cara memakannya sesuai dengan takaran dan batasan, kemudian akan timbullah sari pati
dari nasi itu sendiri yakni gizi dan segala kandungannya, bukankah uang itu baik, namun
apakah jadi benar dan indah jika segala sesuatu, jika ibadah, kasih sayang kita patok
dengan uang..? Bukankah ibadah itu sangat baik, namun apakah benar, jika sholat isya’
umpamanya yang telah ditentukan rekaatnya yakni empat rekaat, kau tambahi jadi delapan
rekaat..? begitupun dengan harta-harta, ilmu-ilmu yang kita pelajari, hanya akan
mandek/berhenti dan tak bermakna. Jika tidak kita pahami makna hakikatnya, jika kita hanya
menyimpannya semata, dan takut kehilangan, ia tetap baik, namun tidak membawa manfaat
apapun bahkan bagi dirimu sendiri, begitu juga dengan air, senyuman, tidur dan berbagai
macam hal yang sering luput kita perhatikan dan kita anggap remeh, jika kita hanya bertahan
memegang erat apa yang kita cintai, maka kita tidak akan memperoleh kemanfaatan dan
keindahanya, tidak akan mampu mengerti hakikat terdalamnya, kalau hanya memegang erat dan
takut kehilangan. Mencintai, mengasih sayangi itu soal memahami, mengerjakan sesuatu, soal
menjaga hakikat, menjawab panggilan, kerja keras untuk membuktikannya dan bersetia dalam
irama dan prosesnya. Juga soal berbagi, soal mengerti peta diri dan mengerti dimensi antara
menahan dan melepaskan, namun ada kalanya  pula mencintai dan menyayangi itu bisa berupa
teguran, kemarahan, dan berupa sebuah tamparan.
Adapun dengan hawa nafsu, meskipun kita harus memaksanya, kita harus membangun diri dan
keteguhan untuk mendayagunakannya, menemukan manfaatnya, sebab itu tugas dan kewajiban.
Kita harus memaksa diri kita sendiri untuk keluar dari kepemimpinan hawa nafsu, senang dan
tidak senang, iri benci yang memimpin hati dan penilaian kita.  Dan yang pertama kali kita
harus mengenal secara utuh siapa diri kita, apa hakikatnya  kita diciptakan (buka kembali
bulletin anda yang terdahulu untuk cara mengenal diri seutuhnya), kemudian yang pertama
harus kita didik dan teguhkan bukanlah hawa nafsu itu sendiri, melainkan tekad dan
kebulatan niat kita untuk benar-benar menemukan manfaat dan keindahan, untuk bermusyawarah
dengan segenap anggota tubuh, dengan hati, akal pikiran, dan pertimbangan perbuatan kita.
Akan tetapi jangan gunakan kebencian ,jangan gunakan rasa benci untuk mendidik, untuk
mendasari apapun saja perbuatan kita. Ibadah-ibadah mahdoh (Fardhu-wajib) dan muamalah
(sunah-sosial) kita. Mendasari ibadah dengan kebencian..? bagaimana maksudnya hal itu..?
bukankah sering kali kita melakukan ibadah muamalah (sunah-sosial) seperti sedekah dengan
niat yang tak lagi tulus namun hanya ingin pamer ataupun karena iri dan benci terhadap
orang lain yang yang kita pandang sebelah mata, namun ia bersedekah lebih dari perkiraan
kita..? atau di ibadah mahdoh (fardhu-wajib) ketika sebelum sholat kebetulan saja ada tamu
atau teman kita yang datang dan kita tahu bahwa orang itu hanya ingin curhat atau ingin
meminta bantuan atau berhutang, maka kita akan berusaha memperlama sholat kita dan
menggerundel panjang pendek di hati kita ketika sholat..?
Bukankah ketika puasa kitapun mungkin membenci saat imsak datang dan dikumandangkan..?
mendasari hidup dan kehidupan dengan kebencian ialah sama saja membangun sebuah fondasi
rumah, namun bukan dengan fondasi yang kuat, bukan dengan pasir semen dan batu kasih sayang
tapi dengan pasir rapuhnya keegoisan,batu-bata ingin menang sendiri, iri dengkinya batu
kebencian, dengan semen api emosi. Dan dengan besi keroposnya iri hati dan kesombongan.
Jadi mari jangan dasari hidup kita dengan kebencian namun dengan kasih sayang seperti yang
Rosululloh Muhammad selalu tekankan dan ajarkan dan teruslah berguru dan jangan berhenti belajar.
Alloh ya Hafied, Allohul Kaafi, ketentraman bersama kalian.

DIMENSI HENING
Jika anda ingin mengetahui kedalaman agama seseorang, janganlah lihat dari betapa 
banyaknya ia sholat dan puasa, melainkan lihatlah bagaimana Dia memperlakukan orang lain.”
~(Imam ja’far as-shadiq)~
“Jangan kerdilkan dirimu dengan takabur, jangan sempitkan dadamu dengan dengki, dan jangan
keruhkan pikiranmu dengan amarah.”  ~ (Gus Mus)~

ANGKRINGAN SUFI
Bismilahirohmanirohim:Teori hanya akan jadi teori semata jika…….
Kang  Sarengat    : Kang, rasa-rasanya kok akhir-akhir ini aku semakin malas terhadap situasi yo kang..?
Kang Hakekat    : Malas bagaimana maksudnya..?
Kang Sarengat    : Ya males kang, ngaji males, memahami sesuatu secara utuh juga  males, 
dan sangat malas beribadah,bagaimana coba itu kang.?
Kang Hakekat    : Lho bukane bagus itu, di Alhamdulillah-i saja to kang hehehe….
Kang Sarengat    : Lho malah suruh ng-Alhamdulillahi piye to kamu ini kang..?
Kang Hakekat    : Lha terus bagaimana..?
Kang Sarengat    : Ya mbok diajari cara atau teori membuang rasa malas atau gimana  begitulah..!!
Kang Hakekat    : Terus kalau sudah tahu teorinya mau bagaimana..? apa ya otomatis
Langsung rajin begitu to..? langsung semangat begitu?
Kang Hakekat    : Lho ya ndak begitu lah kang, setidaknya bisa jadi panduan lah untuk
mengatasi rasa malasku ini kang…..
Kang Hakekat    : Cuma sekedar panduan.? saudaraku teori hanya akan jadi teori semata jika
kita tidak mau menerapkanya, hanya akan jadi langit-langit kenangan di
otak dan menambah jumlah ingatan semata jika kita tidak mau menerapkanya.
Kang Sarengat    : Maka dari itu ajari aku kang, agar males dan kemalasan tidak memimpin
hidupku, bukankah menurutmu males itu sebuah penyakit hati yang sangat   halus dan tersembunyi.?
Kang Hakekat    : Menurutku.? kapan aku omong seperti itu Kang..?
Kang Sarengat    : Sampean ini, berlagak tidak tahu saja kang……
Kang Hakekat    :  Yah benar itu, sepertinya aku belum pernah omong seperti itu, coba Jelaskan dulu.
Kang Sarengat    : Kata Sampean, Males dan rasa Malas adalah awal dari rentetan
Tertutupnya pintu   hati nurani, awal dari hawa nafsu yang memimpin
hidup kita dan tidak mensyukuri nikmat Alloh, hilangnya rasa malu dan
tanggung jawab, dan itu membuka dimensi lain soal menilai & mendidik sesuatu dengan
kebencian, dan cara  untuk mengatasinya salah satunya
ialah dengan Tafakur dan muhasabah (berfikir dan introspeksi diri)
Sampean juga bilang jangan berhenti berguru dan jangan berhenti belajar.
Kang Hakekat    : Nah itu tahu,, kenapa masih minta diajari..? ataukah hanya mau menimbun
pengetahuan tanpa penerapan..?





                       

0 komentar:

Posting Komentar