Sabtu, 04 April 2015

EDISI - 24 KAMIS

Edisi, 24
Kamis 12 September 2013
   
ENERGI EMPATI
Sampai saat ini tak banyak yang menyadari kalau empati punya energi yang begitu besar.
Sebuah energi yang memiliki dua arah yang akan terus mengalir. Pertama aliran yang menuju
dalam diri si pemilik empati. Pengaruhnya kedalam diri, dan empati memunculkan perasaan
cukup atau qona’ah dengan pemberian Allah S.W.T. Perasaan inilah yang kian jarang di temui
ditengah derasnya arus matrialisme dan hedonisme. Para pengejar dunia yang justru terjebak
dalam kubangan yang akan semakin menjauhkan mereka dari kepuasan batin. Kebahagiaan dan
ketenangan jiwa yang mereka representatifkan dengan “ memiliki ” dunia, malah menjadi ruang
yang menakutkan dan menggelisahkan. Itulah rumus unik dari hati manusia. Semakin mengejar
urusan dunia, maka kebahagiaan yang mereka maksud justru semakin menjauh. Ini berbeda jika
banyak aksi empati yang dilakukan. Bahwa empati akan menutup rasa tidak cukup, jiwa akan
menemukan ketenangannya dan pada gilirannya, kebahagiaan akan lahir lalu terpatri dalam
sanubari. Kedua aliran energi yang menuju keluar. Energi tersebut akan membiakan energi
baru bagi yang menerima empati. Memberi aura yang bisa membangkitkan optimisme dan
penghargaan hidup lebih baik. Hanya saja menumbuhkan rasa empati bukanlah perkara mudah
terlebih bila kita masih dililit penyakit bakhil dan kikir akan semakin sulit untuk
menumbuhkan sikap empati dalam diri. Belum lagi ancaman lingkungan yang materialis dan
hidonis itu akan semakin memperlambat laju tumbuhnya rasa dan sikap empati.
Kalau saja empati bisa terawat untuk tetap tulus, bersih, maka tidak hanya simpati penduduk
bumi saja yang akan mengalir, namun Allah S.W.T pun memberikan sesuatu yang lebih bernilai
“ Kemurahan hati adalah dari kecermelangan hati dan pemberian Allah. Bermurah hatilah
niscaya Allah bermurah hati kepadamu.” (HR.Athabrani). Sebuah sikap yang merefleksikan
betapa Islam adalah Agama yang sangat mementingkan kebersamaan dan Agama yang syarat dengan
empati.  Banyak ayat-ayat Alqur’an yang bentuknya jamak, yang mencerminlkan sikap empati
artinya bisa dipahami bahwa Islam sangat menghendaki setiap Muslim untuk saling berempati,
peduli dan berbagi kepada yang lain. Dari pandangan lain bahwa Islam mengajarkan bukan saja
mengajarkan Beribadah secara individu akan tetapi beribadah yang berkaitan untuk
kepentingan orang lain. Adapun wujudnya bisa beragam misalnya, berupa pikiran, tenaga,
waktu, dana, fasilitas dll.    Karena itu ketika hidup dalam keterbatasan waktu, maka akan
terlalu murah bila hanya dimanfaatkan untuk perkara yang sia-sia sementara, ajal tak
terhalangi oleh ruang dan waktu untuk mendatangi setiap diantara kita yang bernyawa.
Sementara tak ada apapun di dunia ini yang akan setia menemani kita di akhirat kelak
kecuali amal kebaikan yang telah dikumpulkan selama hidup di dunia. Maka sungguh kita
beruntung jika hingga detik ini Allah S.W.T masih meberikan Hidayah dan Inayah-Nya, membuka
mata batin kita untuk lebih banyak melakukan aktivitas yang bernilai ibadah dan kebaikan.
Menjernihkan hati dan akal kita untuk semakin dewasa dan bijak dalam melihat, menilai
memahami dan menyikapi segala sesuatu yang terjadi. Lebih peka terhadap segala bentuk
penderitaan atau kesusahan orang lain. Bukan hal aneh jika ketika hidup dalam keterbatasan
waktu ini kita tidak dibenarkan untuk menunda sebuah kebaikan dan kepedulian terhadap sesama.
Padahal telah banyak kisah yang mengisyaratkan betapa konsep hidup manusia bukan hanya
untuk dirinya namun juga untuk orang lain. Inilah kehidupan sosial yang tak mungkin
dihindari bahkan para sahabat Rosulullah telah memiliki sikap Itsar , yaitu lebih
mengutamakan kepentingan sahabat atau orang lain dari pada kepentingan sendiri.  Rasa
empati yang di manifestasikan dalam bentuk kepedulian yang nyata harus menjadi sesuatu yang
senantiasa hidup dalam sanubari.
Karena dengan berempati menunjukan bahwa kita adalah manusia yang masih hidup, manusia yang
masih berperasaan dan akhirnya menuntun kita menjadi manusia yang bermanfaat untuk sesama.
Bukankah sebaik-baiknya manusia ialah orang yang bermanfaat bagi orang lain ?   Ketika kita
berempati atau peduli dengan memberi orang lain, bukan saja menjadi mata rantai pemutus
atas persoalan yang mendera mereka namun sesungguhnya kita telah meletakkan penghargaan dan
optimisme sekaligus kebahagiaan untuk mereka. Bagi kita sendiripun memberi bukanlah sebuah
kehilangan namun justru ketika kita memberi maka kita akan menerima sesuatu yang lebih.
Jika akan mendapatkan ketenangannya. Puncak kebahagiaan akan di genggam erat-erat. Dan
empati menjadi sinyal bagi masih “ Hidupnya” hati kita. Di saat sepanjang kehidupan ini
disergap hasrat duniawi yang berlebih, di hadang segala kotoran hati, berupa kebakhilan dan
kekikiran yang membersamai.  Dalam petuah bijak mengatakan bahwa “ Maut bukanlah kehilangan
terbesar dalam hidup, yang terbesar adalah apa yang mati dalam sanubari sementara kita
masih hidup” Apalah arti hidup dan kehidupan yang kita miliki jika nihil amal kebaikan
untuk sesama. Semoga Allah S.W.T mengokohkan hati kita menjadi pribadi yang mampu
mepersembahkan yang terbaik bagi diri dan orang lain. Bagi Hidup dan kehidupan kita.   

DEMINSI HENING
“ Bersodaqohlah kalian…! Karena kebanyakan kalian adalah kayu bakarnya jahanam, maka
berdirilah seorang wanita yang duduk diantara wanita-wanita lainnya yang berubah kehitaman
kedua pipinya, ia bertanya, mengapa demikian wahai Rosulullah ? Beliau menjawab karena
kalian banyak mengeluh dan kalian kufur terhadap suami.
“ Jangan tolak bid’ah kami, sebab kami tidak punya keberanian sama sekali atau sesuatu yang
kami andalkan untuk mencintai Rosull Muhammad, kami sedang mencoba untuk menyusun, mencari
dan memahami unsur-unsur atau partikel yang memungkinkan kami untuk mencintai Rosul
Muhammad meskipun itu berupa bid’ah jadi jangan tolak bid’ah kami. 

ANGKRINGAN SUFI
Malam yang cerah namun dingin merasuk dalam tulang belulang sehingga pada malam itu di
angkringan banyak yang memakai jaket dan sarung sebagai penahan rasa dingin, dalam suasana
yang demikian dan di temani sebatang rokok kretek di tangannya Kang Sarengat bercengkrama
dengan rekan-rekannya di angkringan, sementara Kang Hakekat membungkus kakinya yang
kedinginan dengan sarungnya sambil mendengar omongan Kang Sarengat.
Kang Sarengat  : Kang… baru kali ini aku merasa lebih tenang hatinya dan saya merasakan ada
peningkatan dalam saya melakukan ibadah.
Kang Hakekat  : Tenane Kang…. Apa benar sebegitunya yang sampean rasakan dan apa benar,
kira-kira jaminan karena sudah merasa rajin beribadah.
Kang Sarengat : Ya memang begitu Kang, yang jelas ibadah yang mahdhoh sudah saya jalankan.
Kang Hakekat  : Oh begitu critane He..he..he.. Yo baguslah kalau sampean memang sudah
merasa begitu, permasalahannya apa sampean juga sudah beribadah muamalah, selain mahdhoh.
Kang Sarengat : Ya kalau itu bagi saya yang penting saya melaksanakan yang wajib, khan
jelas bahwa janji Allah bahwa dengan melakukan hal itu saya akan dimasukan dalam syurga gitu khan.
Kang Hakekat  : Hemmm…. Tidak salah cuma permasalahannya ketika Sampean beribadah hanya
untuk penyelamatan dirinya sendiri ataupun individu artinya Sampean belum bisa merefleksi
dari pada ibadah yang wajib, apa lagi belum ada pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari
dengan manusia yang lain dan lingkungannya, artinya sampean egois dan hal itu tidak
menjamin sampean masuk syurga, karena masuk syurga bukan karena banyaknya beribadah akan
tetapi karena keridloan Allah itu masalahnya.
Kang Sarengat : Oalah begitu tho………. (sambil garuk-garuk kepala).

0 komentar:

Posting Komentar