Sabtu, 11 April 2015

EDISI - 53 KAMIS

Edisi,53 Kamis
11 Desember 2014

E L I N G
“ Sayyiduna Muhammad Rosuulullah Lil Alamin”
(Junjungan kita Kanjeng Rosul Muhammad S.A.W adalah utusan Allah untuk seluruh alam)
SUNGGUH sebuah kasunyatan yang tak terbantahkan, tragis sekaligus memilukan, bahwa ketika
perjalanan manusia tidak bisa menyelaraskan antara dualitas yang selalu berdampingan dalam
laku hidupnya. Seringkali ada umpatan –umpatan yang akrap dengan ucapannya wong jowo “
mugo-mugo menangi rejening jaman” dalam artian mengalami kehidupan yang tentunya lebih
baik. Tapi suatu kemustahilan dan ironi sekali sebab jaman justru semakin makmur dan mulyo,
akan tetapi justru manusianya sendiri yang tidak mampu memuliakan dalam laku hidupnya,  
banyak orang yang tengah berada dalam kebingungan dan kegelapan.
Nuraninya tertutup awan hitam, sehingga matahari, bulan maupun bintang gemintang tak mampu
memberikan penerangan dan pancaran sama sekali. Akibatnya langkah maupun perjalanan
hidupnya senantiasa mengalami sasar-susur (Kesasar dan tersesat) dan melanggar dari norma-
norma kemanusiaan. Hidup dengan senantiasa mengandalkan beningnya hati (Sakbeninge) sungguh
bukan perkara yang mudah seperti membalikan tangan, membutuhkan Lelana brata dalam setiap
menyelusuri jalan yang sunyi. karena terbukti dimana-mana terjadi benturan dan malapetaka,
pelanggaran karena ulah manusia itu sendiri. Artinya bukan hal yang mudah untuk selalu
menempatkan bahwa sesuatu hal yang HAQ selalu melekat dalam prinsip hidupnya.
Dan suatu prinsip hidup ketika seseorang (Pesalik) telah menemu-kan jalan yang ia
tradisikan dalam rangka berjalan menuju Allah aza wajalla. Kadangkala kita terjebak dalam
pemahaman yang sempit, seperti halnya kita  berdzikir, dalam pandangan umum bahwa ber-
dzikir adalah mengucapkan kalimat dzikir itu saja, namun disini khan tidak demikian, yang
dimaksudkan dzikir adalah mengingat Alloh, dengan cara apapun, masalah kalimatnya terserah,
bahkan kadang tidak harus dengan sebuah kalimat, akan tetapi dengan pandangan matanya,
dengan akal pikirannya, dengan angan-angannya sehingga mampu memunculkan ataupun mampu
menggerakan sebuah pujian  dari sanubarinya dan pada akhirnya ingat (Eling) terhadap segala
kebesaran Alloh Swt. Mengingat atas segala kemuliaan yang telah kita terima dari Alloh. Swt
agar mempunyai nilai dari sebuah ke-patuhan religius, sehingga dimana wajah dihadapkan
disitulah terlihat wajah Alloh. Konteks, ELING merupakan rambu-rambu bahwa apa yang kita
lihat, apa yang manusia pakai akan mengalami keusangan bahkan akan mengalami sebuah kehancuran.
Dengan demikian arti yang tersirat bahwa janganlah menyenangi sesuatu secara berlebihan,
sedangkan hal yang disenangi akan ada masa pakainya. Jadi hal tersebut sejatinya
mengingatkan (Ngelingke) kepada manusia semua, carilah sesuatu yang tidak usang ditelan
jaman dan tidak rusak di telan masa.  Gustialloh sudah memberi dan bahkan telah menunjukan
kepada manusia, kenapa bumi yang kita pijak, sebagai tempat kita tinggal juga mengalami
degradasi (pengikisan), entah itu banjir, longsor, sunami, gempa, gunung meletus dan
sebagainya, itu pertanda bahwa bumipun juga akan rusak bahkan hancur, maka sebuah
peringatan besar, kenapa kita menyenangi dengan berlebihan sedangkan toh pada akhirnya akan
mengalami kehancuran. Apa masih kurang bisa dinalar dengan hidayah akliyah yang telah
dititipkan kepada kita sebagai manusia. Orentasi penalaran semua itu menyiratkan agar ada
sesuatu yang harus diingat, bahwa kita tidak hanya sekedar diarahkan pada suatu pemikiran
saja, akan tetapi ada upaya prilaku untuk menata, mempersiapkan dalam rangka membekali diri
untuk mempersiapkan perjalanan yang tanpa mengenal batas waktu.
Mempersiapkan perbekalan dalam  pengembaraan  panjang menapaki demansi yang berbeda dengan
dunia. Susah senang, sehat sakit, hidup dan mati itu adalah bentuk peringatan nyata.
Dedaunan yang menghijau kemudian menguning, mengering dan pada akhirnya berguguran, itupun
adalah sebuah peringatan.  Dengan beginilah kita jadikan sebagai bahan perenungan setiap
insan sebab hampir semua yang diajarkan Alloh, melalui Rosull Muhammad dan para Kekasih
Alloh mengajarkan tentang tatanan hidup, tata laku dan tata krama, dengan tujuan untuk
mewujudkan sebuah bentuk keseimbangan, dalam mencapai ketentraman jasmani dan rohaniahnya.
Dengan kata lain sebagai manusia harus dapat mengamalkan segala yang sudah ia dapatkan.
Dimana inti paham (Eling) tersebut menyatakan pusat kehidupan di dunia ini adalah manusia.
Dan manusia berhak melakukan bentuk apapun dimuka bumi ini tentunya dengan segala
konsekwensinya, sebab semua yang dilakukannya akan dimintai per-tanggung jawabannya di
hadapan mahkamah tertinggi nanti. “ Afala tafakkaruun”

DIMENSI HENING
Cinta adalah kelemahan alami yang dianugerahkan kepada kita melalui pendahulu kita.
** Mengapa kuserahkan diriku pada kekuatan asing yang membunuhku, dan menghidupkanku hingga
fajar menyingsing, dan mengisi ruangan dengan cahaya-Nya.

ANGKRINGAN SUFI
Bismillahirohmanirohim :  
ELING SAPA ELING BALIA MANING....???
Eling..eling sapa eling balia maning...Rupanya Kang Sarengat masih terhipnotis pertunjukan
Tayuban (Lenggeran) di kampung sebelah karena ada semacam selamatan (Mertideso/ruwatan)
yang dilaksanakan secara kebetulan pada bulan Sapar. Ada kalimat yang menarik yang mengiang
dan diingat-ingat oleh Kang Sarengat yaitu ELING..ELING... SAPA ELING BALIA MANING (balio
maneh) dan pada akhirnya menjadi bahan pertanyaan untuk sedulurnya Kang Hakekat di Angkringan.
Kang Sarengat    : Kang......saya beberapa waktu lalu aku datang dalam sebuah acara dan
disitu ada pagelaran tari Tayuban ada juga yang bilang lenggeran  Kang,,,...
Kang Hakekat    : Lantas apa kaitannya dengan Saya Kang...mung arep pamer crito gitu...!
Kang Sarengat    : Wah Kang...yo tidak begitulah.....ya ada kaitannya Kang sebab aku mau
tanya, ada hal yang menarik dalam tembangannya... jadi pas penarinya ada yang mendhem
(kesurupan) itu kaya orang tidak jelas Kang...masa ayam mentah dimakan, torong lampu,
kelapa dibrakoti.... masih banyak yang lain Kang.. dan yang masih menarik dan mengiang
dalam telingaku ketika Sang penari yang kesurupan itu disuwuk mungkin istilahnya sambil
diiringi tembang itu tadi... eling...eling sapa eling balio maning....gitu jadi maksudnya apa Kang....???
Kang Hakekat    : Oh begitu permasalahannya tho.... ya khan jelas sekali, saking bijaknya
dan cerdasnya para leluhur kita atau para Sunan-sunan kita dalam rangka memberi pemahaman
tanpa harus menyakiti perasaan dan hatinya... ya begitulah retorika yang dibuat, adapun
unsur yang terkandung ya ajaran.... artinya kalau siapapaun sedang mendhem/kesurupan ya
begitulah gambarannya tidak melihat haram halal, tidak melihat baik buruk semua diuntal.
Dan satu hal yang perlu kita hikmahi bahwa eling balio maning ya..konsep kembali kepada
Gustialloh itu sendiri atau dengan kata lain kalau dolan ojo adoh-adoh mengko ndak ora iso
bali... khan sama, Cuma itu akrap diucapkan oleh orang-orang kulon (ngapak), Sampen
mestinya juga mikir Kang Tayub kalau boso jowo maksudnya ditoto ben guyub, lenggeraan
(Elingo Ngger karo pengeran) khan gitu... moso ora mudengan.... 
Kang Sarengat    : Oalah... jane gitu maksudnya....hehehe...yo..yo..!!!


0 komentar:

Posting Komentar