Jumat, 03 April 2015

EDISI - 18 KAMIS

Edisi, 18
Kamis 16  Mei 2013

PENYAKSIAN KEAGUNGAN NUR ILAHI
Kata penyaksian mengandung dua hal, yang menyaksikan dan yang disaksikan. Siapa yang
disaksikan, dan apa yang disaksikan. Di dalam ilmu tasawuf (Makrifat) yang disaksikan
adalah Nur Ilahi, sedangkan yang menyaksikan adalah mata hati.
Yang istilah tasawufnya
adalah, pandangan syuhud. Suatu pandangan batin sebagai penyaksian yang tidak diragukan
lagi. Seseorang yang sudah dapat menyaksikan Nur Ilahi adalah orang Alim yang benar-benar
Kasyaf. Artinya sudah terbuka tirai/cadar/penutup yang menutupi lensa mata hatinya. Mata
hati tidak akan dapat menyaksikan keagungan Nur Ilahi, apabila masih tertutup oleh tirai
gemerlapnya cahaya-cahaya kebendaan. Cahaya kebendaan itu sesunggunhya amat tebal Ia
diserap oleh nafsu melalui pandangan kepala, dan melekat pada hati. Jika kita ingin melihat
keagungan Nur Ilahi maka cadar penutupnya harus dihilangkan.  
Sebenarnya untuk menyaksikan gemerlapnya Nur Ilahi itu bukan suatu yang baru, Keinginan itu
merupakan kerinduan karena telah lama berpisah ingin sekali bernostalgia bahkan menyatu.
Karena jaraknya teramat jauh bahkan nyaris hilang, maka keinginan itu menjadi muskil untuk
tercapai. Manusia adalah terdiri dari dua unsur yaitu Jiwa dan Raga. Dulunya Jiwa adalah
bersih dan suci, mampu melihat dan berkomunikasi langsung dengan Al Haq, namun setelah
dibungkus dengan Jasad, Nafsu maka Jiwa ini menjadi kotor. Allah mempersenjatai akal, ajang
pertempuran antara nafsu dan perasaan.Guru Waskito menjelaskan bahwa Jiwa manusia pada asalnya adalah Lathifah rabbaniyah
(Cahaya Ketuhanan) dan dekat sekali hubungannya dengan Allah SWT, selalu memuji dan
bertasbih kepada Allah semata, akan tetapi setelah Jiwa berhubungan dengan Jasad barulah
Jiwa mengerti bahwa ada yang lain selain Allah. Disinilah titik awal apa yang disebut
dengan “Lupa”, Lupa terhadap keaslian dirinya yang disebut Cahaya Ketuhanan tadi.  Lupa
dengan kewajiban yang di embannya karena segala yang lain dari Allah telah mampu menguasai
Jiwanya yang melekat pada lensa mata hatinya (Munthabi’atan fi mir’atihi). Agar supaya
dapat kembali menyaksikan Al Haq seperti dahulu maka tirai itu harus dibersihkan, sebab
jika tidak dibersihkan maka selamanya tidak akan mampu melihat kembali Sang Haq.  Di
jelaskan pula oleh Guru Winasis bahwa suatu saat akan muncul percakapan antara Jiwa Dan
Raga tentang perpisahan Ruh suci dari Jasadnya.
Hai Ruh.. opo kowe tego tenan ninggalake aku, opo kowe ora melas karo aku (Kata Jasad), 
Sakjatine aku ora tego tur yo melas ninggalake kowe Jasad (kata Ruh), nanging iki wus dadi
garising pepesten awit kowe rikolo ning ngalam dunyo tak ajak babagan kabecikan kowe ora
nggugu, lan ora gelem malah tansah ninggal kebecikan tumindak angkoro murko dadi gelem ora
gelem kowe kudu pisah karo aku. Aku ora biso ngancani sliramu,….  jasad yo wis samene wae aku ora biso terus ngancani awakmu.
Kalau sudah demikian lantas apa yang mesti kita berbuat, maka dari itu jangan sia-siakan
kesempatan yang kesekian kalinya untuk kembali sebagai Titah yang sudah bersaksi dan
menyaksikan keagungan NUR ILAHI kala itu. Runtutan dari Aksara Jawa yaitu   (Nya) yakni :
(Nya) Nyahadati Atimu, Artinya kembali mengulang penyaksian keagungan Nur Ilahi, yang jelas
selalu memperbaharuhi tentang syahadat hati kita karena dalam setiap detik bisa jadi hati
kita telah gugur dan telah berpaling selain-Nya.
(Nya) Nyahadati nafsumu, jelas sudah ketika nafsu tidak selalu kita sahadati justru
berpotensi kita mudah berpaling Dari-Nya dan lebih berpeluang untuk melakukan kemaksiatan
yang di hasilkan dari bisikan (khotir ) nafsu.
(Nya)  Nyontoni nafsumu, gen ora ketarik marang howo limo (5) sebab yen ketarik bakal bali
marang inaning manungso, margo salah ngetrapake howo limo (5), mulo ndang sahadatono Atimu
lan nafsumu.
(Nya)  Nyawiji, ketika hati dan nafsu sudah di sahadati sudah barang tentu kita akan mudah
menyaksikan dan merasakan keagungan Nur  Ilahi,  roso
pangrosone manunggal kawulaning Gusti (Fana).
Sesungguhnya berat tanggung jawab manusia dan berat pula untuk menerima Al Haq, tetapi di
sisi lain Allah memberikan kemampuan untuk menerimanya, yaitu suatu pemberian dan anugrah
yang amat mulia dan paling bijaksana, Hati diberi Nur Makrifat sehingga mampu melaksanakan
itu dengan ketentuan-ketentuan yang mengacu pada
aturan Tuhan juga.**
 Lanjutan, 10 (Sepuluh) WASIAT ROSULULLOH
5. Wasiat Kelima  yaitu :
*“Baginda Rosululloh SAW Bersabda “
Wahai Ali.. ! Berbuatlah jujur sekalipun hal itu akan membahayakan dirimu di dunia,
sesungguhnya kejujuran itu bermanfaat di kemudian hari. Dan janganlah berdusta sekalipun
bermanfaat bagimu ketika itu karena kedustaan itu akan menyulitkanmu di kemudian hari.
Wahai Ali...! Barang siapa yang banyak dosanya, maka hilanglah kehormatannya.
Wahai Ali…! Jagalah selalu kejujuran ucapan dan jagalah pula pembicaraanmu, jagalah amanat,
peliharalah kemurahan hati serta kesucian batin (Hati).
Wahai Ali …! Sejahat-jahat teman ialah teman yang tidak memperhatikan terhadap temannya dan
suka membuka aib temannya.
Wahai Ali …! Seribu teman itu sedikit sedangkan satu orang musuh itu banyak.   
Wahai Ali …! Jauhilah dusta karena dusta itu menghitamkan wajah. Bila seseorang senantiasa
berdusta dia dinamakan pendusta disisi Allah, bila Ia benar Dia di sisi Allah disebut
sebagai orang yang benar. Dan sesungguhnya berdusta itu akan menjauhkan iman.
Wahai Ali …! Tanda sahabat sejati itu ada 3 (Tiga) yaitu :
a. Ia lebih memperhatikan (Menjaga) hartamu daripada harta sendiri. 
b. Ia lebih mementingkan dirimu daripada mementingkan dirinya.
c. Ia lebih menghormatimu daripada kehormatannya sendiri

ANGKRINGAN SUFI
Angkringan merupakan kandang orang-orang bodo yang datang dari berbagai macam latar
belakang, mereka nongkrong untuk saling berbagi/shering untuk ngobrol hal apa saja yang
bersandar vertical pada Gusti Allah, namun yang di obrolkan oleh warga Angkringan merupakan
obrolan hasil mengaji dari malam Selasa dan malam Kamis, dari kandang itulah warga
Angkringan berkumpul mencoba untuk berfikir secara Uryan (Vulgar) tanpa melibatkan Ego
masing-masing untuk sebuah kepentingan kelompok atau individu. Di tempat inilah warga
Angkringan mencoba mengawali sebuah persemaian kasih sayang diantara sesama, dan menurut
warga Angkringan semua bahwa kasih sayang tidak sama dengan memanjakan, tapi kadang bentuk
kasih sayang itu bisa berbentuk jeweran atau cubitan. Tak ada sedikitpun warga Angkringan
untuk berkonspirasi jahat, pembunuhan karakter ataupun memarjinalkan kelompok ataupun
individu, meskipun warga Angkringan sadar bahwa bahasa yang digunakan tidak beradab atau
berakhlak,  tapi begitulah keindahan yang di rasakan ketika warga Angkringan berkumpul
karena berusaha melepas atribut-atribut keegoan yang ada pada diri masing-masing untuk
berusaha menyikapi bentuk keindahan ini dengan hati yang bening, akhirnya Kang Hakekat jadi
berguman dalam hatinya dan merasa prihatin dengan keadaan ini.
Kang Hakekat  : Saya kok akhir-akhir ini males nderes Alquran, sebab Alquran selalu
menyindir saya, ini ayat menerangkan tentang orang-orang kafir tapi rasayan saya ada
disitu, ayat menerangkan tentang orang-orang munafik tak pikir dan tak rasakan saya ada di
dalamnya, ayat menerangkan kesombongan dan gila duniawi tak pikir dan benar-benar tak
rasakan teryata aku banget……!!!, lantas ayat lain menerangkan tentang orang Mukmin, orang
sholeh kok ya sama sekali saya tidak ada di situ……….. lalu kau ini bagaimana atau aku harus
bagaimana, mestinya kita lebih sakit tersindir dari peringatan Alquran dari pada peringatan manusia.

0 komentar:

Posting Komentar