Sabtu, 11 April 2015

EDISI - 49 KAMIS

Edisi, 49
Kamis 16 Oktober 2014
   
MADHEP
“ Sayyiduna Muhammad Rosuulullah Lil Alamin”
(Junjungan kita Kanjeng Rosul Muhammad S.A.W
adalah utusan Allah untuk seluruh alam)
Jauh sudah perjalanan yang kita tempuh dan bahkan bisa dibilang hampir di penghujung waktu,
dan lama sudah kita melangkahkan kaki untuk mencari dan terus mencari, namun tetap saja
belum bisa mengerti. Namun apakah kita harus berhenti atau justru terus mencari...? apakah
kita menyerah atau kita justru harus sampai berdarah-darah...? sementara kian lama juga
justru kian nampak dengan jelas dan nyata bahwa kita semakin bodoh, semakin bingung dan
semakin tidak karuan (linglung). Banyak sudah pemahaman, petuah yang kita terima akan
tetapi semakin banyak pula pelanggaran yang telah kita gandakan.  Nah disinilah sejatinya
bahwa totalitas perjalanan hidup kita masih diragukan, sebab belum bisa menimbulkan
kepasrahan yang mampu mendominasi dalam setiap prilaku yang kita sandarkan kepada Allah. Di
buletin edisi ini Bahwa “ KEPASRAHAN HIDUP”  di bagi menjadi 9 (sembilan) dalam rangka
benar-benar totalitas menuju Alloh yakni. Madhep, Mantep, Waspodo, Prasojo, Eling, Mulat,
Sabar, Narimo dan Jujur. Begitu luasnya dan begitu banyaknya pemahaman-pemahaman yang
mestinya harus kita kaji dan kemudian pada akhirnya bermuara pada sebuah aplikasi,
perbuatan nyata yang diakhlaki sehingga mendapat garansi dari Kanjeng Rosull Muhammad dan
Alloh itu sendiri.
Di Edisi ini kami mencoba menguaraikan satu persatu secara sederhana 9 (sembilan) konsep
dari kepasrahan hidup yang tertera diatas. Bagian  pertama adalah
MADHEP   
Berkaitan dengan madhep, sejatinya kita itu lagi madep/ menghadap dengan siapa...?, di-
samping itu sejauh mana ke-sanggupan kita bagi para pencari dan bagi para pejalan sunyi 
untuk totalitas menyerahkan diri se-penuhnya terhadap segala kehandak Alloh swt.  Adapun
penyebab kematian agama, kematian tauhid, bahkan kematian tawakal dan keikhlasan antara
lain karena menentang Al Haq Azza wa Jalla, atas takdir  atau menerima segala ketentuan-
Nya, akan tetapi sebagai pesalik bahkan sebagai seorang mukmin mestinya hatinya tidak
mengenal kata mengapa dan bagaimana, akan tetapi Ia akan selalu berkata “ Baik” agar kita
dalam menghadap (Madhep), dengan kata lain menghadapi siapapun mampu menyikapi dengan baik
dan tentunya benar-benar menjadi baik, baik dalam pandangan kita lebih-lebih dalam pandangan Alloh.        
Sesungguhnya nafsu itu selalu me-miliki kesempatan suka menentang. Bagi orang-orang yang
ingin memper-baiki nafsunya maka ia harus punya kesanggupan melatihnya, menghadap-kannya
hingga benar-benar bahwa nafsu akan memiliki ketaatan dalam menjalankan seluruh ibadah, dan
ia akan mampu meninggalkan segalanya yang tidak menuju Allah. Ketika itulah nafsu sudah
menjadi tenang dan hilang kejahatannya, dan ia tidak lagi berhubungan dengan makhluk.
Bahkan, nasabnya dan lain sebagainya. Tidak memperdulikannya. Di hari raya Idul Adha
kemarin betapa kita telah mendapatkan sebuah pelajaran yang sangat ber-harga, dari seorang
Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s, Beliau-beliau telah menemukan satu titik pandang yang
total dan fokus sehingga tak sedikitpun keraguan dalam rangka menjalankan perintah Allah. 
Ketika Ia keluar dari belenggu hawa nafsunya, Ia berjalan dengan tenang karena sudah tidak
memiliki keinginan apapun. Ketika datang berbagai tawaran dari makhluk, Ia hanya berkata
“pertolonganmu tidak aku butuhkan lagi”.  Pengenalannya akan keadaan dirinya menjadikan
tidak perlu meminta, pada saat kepasrahan dan ketawakalannya telah sempurna.    
Pembelajaran yang mestinya kita ambil dan kita petik mestinya, kita mampu mengorbankan
segalanya terutama ke-Egoan kita yang selalu di nomor satukan dalam setiap bentuk urusan
yang bersifat materi maupun duniawi.  Bahwa esensi pengorbanan yang kita lakukan mestinya
mampu membawa dampak positif dari apa yang kita lakukan, sebab di situ dituntut sekaligus
dituntun dalam rangka penyem-belihan Ego, penyembelihan nafsu hewani yang telah lama
bersemayam dan telah bersekutu dengan nafsu kita. Mungkin kita terlalu jauh ketika kita
melihat Sang Nabi Ibrahim a.s dan Nabi Ismail a.s tersebut. Tapi kita juga terlalu hina
dengan Kambing/Domba yang mempunyai kesanggupan untuk di qorbankan oleh manusia itu sendiri,
Lantas kita itu menempati ruang dan posisi yang mana....? Apakah sudah benar-benar wajah
kita semua kita hadapkan pada Alloh azza wajalla,....? Ketika kita  sudah menyerahkan
secara totalitas sebagaimana Nabi Ismail a.s artinya kita juga punya kesanggupan meng-
Ismailkan diri dalam menghadap Illarobbi. Seekor Dombapun sanggup  dan siap
untuk di eksekusi lehernya dalam rangka menjalankan kewajiban untuk menjalankan kehendak-
Nya, Dan Dombapun mampu menghadap (Madhep) dengan kesungguhan terhadap Allohnya, Lantas
sekarang bagimana dengan kita.....?!!!

DIMENSI HENING
Sesungguhnya kita mempunyai kewajiban untuk berbakti kepada kedua orang tua, setelah
kewajiban kita kepada Alloh. Karena merekalah kita ada, dan mereka pula yang mendidik kita
sejak kecil, oleh karena itu, mereka berdua berhak memperoleh puncak kehormatan.  

ANGKRINGAN SUFI
Bismillahirohmanirohim :  
“KESETIAAN KAMBING”
Kang Hakekat    : Ada kegembiraan apa tho Kang sajaknya kok kelihatan sumringah begitu.
Kang Sarengat    : Hemmm… hehehe gini Kang,  Idul Adha Kang Hari Raya alhamdhulillah... Kang
Hakekat    : Oh...,  lantas kenapa dengan itu bukankah setiap tahun ada...?
Kang Sarengat    : Iya sich Kang, tapi alhamdhulillah hehehe... (dengan raut muka bangga) 
Kang Hakekat    : Oalah paham aku, jadi Sampean sudah berqurban...? sudah kau potong lehermu...? 
jadi sampean bangga dengan qurbanmu...!
Kang Sarengat    : Ya leher kambing Kang, bukan leherku hehehe... ya begitulah bangga sedikit bolehlah, setidaknya sudah bisa kupenuhi sedikit kewajibanku  sebagai muslim.
Kang Hakekat    : Yakin Sampean bangga dengan Kambing Korbanmu...?
Kang Sarengat    : Loh... lha iya apa tidak boleh tho Kang.
Kang Hakekat    : Loh siapa bilang tidak boleh, aku Cuma tanya yakin apa tidak...
Kang Sarengat    : Hehehe...kurang lebihnya begitulah Kang.
Kang Hakekat    : Berarti kalau begitu kwalitas Sampean masih kalah sama kambing.
Kang Sarengat    : Loh kok bisa elek-elek begini aku ini ahsani taqwim Kang, sebaik-baik ciptaan je.. lha kok disamakan dengan kambing, yo menang akulah Kang.
Kang Hakekat    : Lha katanya bangga dengan qurbanmu..?
Kang Sarengat    : Iya sich tapi jangan disamakan karo wedus tho, khan jelas beda tho..
Kang Hakekat    : Sing madake yo sopo... saya khan hanya bilang kwalitasmu 
kalah sama kambing alias wedus..
Kang Sarengat    : Jane maksudnya gimana Kang...?
Kag Hakekat    : Maksudnya... kalau niat qurbanmu hanya demi memenuhi hasrat nafsu pamermu, hanya untuk menunjukkan kemampuanmu, akan tetapi bukan untuk sampean niati demi membunuh ego pribadimu, tidak karena Alloh dan demi lebih mendekatkan dirimu kepada Alloh, dan menetapi sunahRosullnya, maka kwalitasmu masih kalah dengan kambing. Sebab Kambing yang kau qurbankan setia dan ikhlas untuk dijadikan alat pamermu, maka artinya dirimu  masih kalah dengan kambing, hehehe...
Kang Sarengat    : Wah..wah berarti jadi sia-sia qurbanku Kang.... (agak lemes)...
Kang hakekat    : Yo tidak sia-sia Cuma kurang trapsilo saja, bukankah di dunia ini tidak ada yang sia-sia...   hehehe...
Kang Sarengat    : Oalah begitu baru tahu ini....hufh... (sambil menarik nafas panjang)

0 komentar:

Posting Komentar