Sabtu, 11 April 2015

EDISI - 54 KAMIS

Edisi 54
Kamis 8 Januari 2015

MULAT
“ Sayyiduna Muhammad Rosuulullah Lil Alamin”(Junjungan kita Kanjeng Rosul Muhammad S.A.W
adalah utusan Allah untuk seluruh alam)
Rumongso melu handarbeni, wajib melu hangkrukebi, mulat sariro hangrasa wani, (Merasa ikut
memiliki, wajib ikut membela, mau wawas diri dan berani mengakui perbuatannya). Sebuah
cuplikan ajaran yang ditulis para raja ataupun pujangga-pujangga Jawa, yang mengandung
ribuan nasehat berupa ungkapan laku hidup, hal itu merupakan kepanjangan tangan dari pada
pitudhuh tutur para kekasih Alloh. Mulat (Mulat sariro) artinya wawas diri, dengan wawas
diri diharapkan setiap titah dapat memahami diri sendiri sehingga kesalahan dan kekurangan
yang pernah diperbuat  dapat diperbaiki.  Selain itu tentunya sangatlah luas mengartikan
mulat tersebut, kadang antara satu dengan yang lain tidak sama, akan tetapi akan bermuara
pada sebuah kebenaran itu sendiri, kembali kepada membaca diri, memperbaiki diri dan apapun
namanya ketika mengandung unsur kembali terhadap konsep ketauhidan. Tidak banyak para
pencari dan pelaku jalan sunyi yang lolos dari evolusi perjalanan yang ia jalani, dan
nyaris tidak semua pejalan sunyi mampu menjalani konsep-konsep yang kadang di luar akal
sehat, akan tetapi disinilah letak sebuah keindahan yang membutuhkan adrenalin, sehingga
memicu sebuah ketegangan dan tantangan dalam setiap langkahnya. Ternyata semua konsep yang
merujuk pada nilai sejatinya kebenaran tidaklah semudah membalikkan telapak tangan.   
Barangkali dengan setiap detiknya kita selalu wawas diri (Mulat) instropeksi diri, saya
kira akan semakin mengenal diri kita sendiri, setidaknya akan membantu mem-permudah mencari
katalognya dalam setiap meneliti segala aktifitas organ tubuh kita, terutama ego dan nafsu
kita. Dengan demikian dengan spontan akan mencermati ayat-ayat yang tidak tersurat, seperti
ayat-ayat kauniyah, ayat tarikiyah dan sebagainya.  Konteks yang di bicarakan adalah betapa
kita kerdil dan tidak mampu berbuat apa-apa, betapa kita sangat tidak terpedaya, dan betapa
kita setitik butiran debupun tidak sanggup berfikir apa-apa, tanpa peran dan af’alnya
Alloh. Kenapa kita tidak menyadari hal itu, bahkan sering kita melupakan, berpaling bahwa
semua yang ada di langit dan di bumi diatur oleh Dzat Sang Maha Agung. Kenapa kita sering
sengaja pura-pura lupa atas semua-Nya, kenapa justru malah bangga, dengan yang ia miliki
menurut dirinya, bangga dengan ilmunya, bangga dengan jabatannya, bangga dengan hartanya,
bangga dengan amalnya, bahkan bangga dengan ibadahnya. Kenapa.... kenapa dengan semua itu..
Apa sekiranya kalau sudah bangga dengan ilmunya lantas menjadi top, keren dan menjadi
terkenal...?, atau bangga dengan ibadahnya menjadi penghuni firdaus pertama kali, atau
paling pertama di panggil Gusti Alloh untuk duduk di bangku syurga yang paling depan, atau
bisa jadi ketika memiliki harta dan jabatan bisa membeli akidah orang lain dan bisa
memerankan segala konspirasi busuknya dengan leluasa. Hemmm... ya tidak begitulah, tidak
serta merta segalanya bisa dinilai dari materi atau dari segi amal ibadahnya saja. Sebab
amal ibadah juga tidak akan berfungsi apa-apa jika masih mempunyai tendensi yang lain,
termasuk masih mengharap syurga dan takut terhadap neraka. Disinilah letaknya kenapa kita
wawas diri (Mulat),  tau dirilah siapa diri kita ini...??? apa mungkin semua itu terwujud
jika tidak karena campur tangan Alloh Sang Maha Perkasa. Apapun yang terjadi pada diri
kita, dan apapun yang terjadi di alam semesta, kita harus ingat dan tahu benar bahwa semua
atas kehendak-Nya Sang maha Pengatur. Oleh sebab itu sebenarnya MULAT itu ya bisa  juga
(Pasrah bongkokan) totalitas mengakui atas segala kebesaran serta sifat Rahman Rohimnya Alloh SWT.
Mengakui adanya ayat-ayat selain ayat yang tersurat, dan lebih-lebih menyadari bahwa “
Tiada daya dan upaya, tiada kekuatan apapun, selain kekuatan dari Alloh SWT” Sebab tanpa
melalui Rohman Rohimnya Alloh SWT, yang berupa MULAT, kita juga tidak bisa merasakan arti
pentingnya wawas diri, tidak mengerti makna penyesalan dan kita juga akan buta tentang
memperbaiki terhadap kesalahan diri kita sendiri, yang lebih utama sulit sekali kita untuk
mensyukuri segala karunia yang telah diberikan melimpah ruah kepada kita semua sebagai
titah. Kepasrahan hidup adalah menyadari dimana letak dan tempat untuk menyandarkannya.   
Kepasrahan hidup memahami konteks sejatinya hidup itu sendiri,  dan    ke-pasrahan   hidup
mengerti jalannya kembali pulang tanpa lama tersesat ataupun harus tersesat.  Diantara
tanda-tanda kebesaran-Nya adalah mensyukuri cahaya ketika ia menya-dari dalam kegelapan. “
Yaa hayyu yaa qoyyuuw biroh,matika astaghiitsu, ash lihlii sya’nii kullahu  wala takilnii
ilaa nafsi thorfata ainin “  (Wahai Alloh dzat yang maha hidup, wahai Alloh yang senantiasa
mengurusi makhluk-makhluknya, dengan rahmat-Mu yang indah, aku mohon kiranya perbaikilah,
baguskanlah, keseluruhan keadaanku, dan aku memohon jangan Engkau jadikan dan biarkan aku
menjadi orang yang suka mengandalkan diriku sendiri meski hanya sekejab). Mulat adalah
mental membaja jiwa yang berkobar penuh semangat dalam memperbaiki diri.

DIMENSI HENING
*Rendah hatilah, kalau derajatmu tinggi. Sungguh, kerendahan hati seseorang itu menandakan
bahwa ia adalah orang yang berakal.
**Kerendahan hatimu dalam kemuliaanmu merupakan kemuliaan yang paling utama diantara
kemuliaanmu (Ibnu Sammak).

ANGKRINGAN SUFI
Bismillahirohmanirohim :   JANGAN MUDAH MENILAI BURUK
Pada dasarnya bahwa manusia hanyalah pelaku-pelaku saja, ibarat dalam pewayangan, titah
hanyalah wayang yang diperankan oleh Sang Dalang, baik buruknya peran adalah semata karena
Gusti Allah Maha Berkehendak, baik buruknya lakon semata bahwa Gusti Alloh Maha Pengatur
dan baik buruknya rupa sejatinya Gusti Alloh tidak melihat secara jasadi, Itulah konsep
Gusti Alloh yang kadang menyusun sknarionya penuh dengan teka-teki.   
Kang Sarengat    : Weleh...weleh Kang itu yang dimaksud kalimat-kalimat di atas itu
sebenarnya bagaimana tho... masa... Gusti Alloh memerankan buruk segala, itu khan aneh
bukankah Alloh menyukai hal-hal yang baik....
Kang Hakekat    : Oh.. itu... yo enggak salah jika Sampean berpendapat seperti itu, dan  
saya rasa tidak aneh juga kosep apapun jika itu atas kehendak-Nya...
Kang Sarengat    : Sik..sik Kang tetapi aku belum mudeng dengan yang Sampean
 sampaikan, masa Alloh memerankan buruk..? tetap tidak masuk akal..?
Kang Hakekat    : Hehehe... Gini kang bagaimana Sampean akan tahu hal yang baik jika
tidak tahu hal yang buruk, begitu pula sebaliknya... sekarang baik dan buruk   berasal dari
mana....? kenapa harus ada peran antagonis, kenapa harus ada peran buruk sebab hal tersebut
sebagai keseimbangan, Sampean yakin jika sampean tidak lapar kok makan terus, kecuali
Sampean nggragas.. itupun terbatas khan... jadi apa yang diperankan oleh Sang dalang  
terhadap wayang sejatinya sebuah pembelajaran untuk manusia itu sendiri dan satu hal kadang
bahwa untuk memberi pemahaman ataupun mengingatkan, Gusti Alloh juga memerankan manusia
yang lain ataupun mahkluk lain, manakala mahkluk tersebut kebablasan ataupun over dalam
menjalaninya, Gusti Alloh sendiri yang turun tangan ini... jadi semuanya kita sedang diberi
pemahaman tentang kebersamaan atau rohmatan lil alamiin... kita tidak mungkin hidup tanpa
makhluk yang lain sebab satu dengan yang lain adalah suatu keselarasan dalam menjalani
kehidupan yang harmonis... jadi pada akhirnya baik buruk adalah suatu bentuk keseimbangan
yang harus dijalani untuk menembus batas cakrawala...
Kang Sarengat    : Oh.. ternyata... begitu tho agak rumit juga ya... hemmm... huff.. (AGAK MUMET)




0 komentar:

Posting Komentar