Jumat, 10 April 2015

EDISI - 21 BURDAH

Edisi 21 Burdah
Kamis 9 Oktober 2014

“Generasi Hiasan”
Allohuma sholli wassalim ala sayyidinaa Muhammad                       
Kam hassanat ladzdzatan lil mar-i qotilatan Min haytsu lam yadri annas samma fid dasami      
(Begitu banyak jebakan yang berupa indahnya sebuah hiasan Yang disiapkan nafsu  pada diri
seseorang, namun pada  Akhirnya justru malah membunuh dan menjatuhkannya  Sebab di dalam
jebakan tersebut terkandung racun rasa nyaman ke ”AKU” an)
Banyak hal yang terjadi di sekitar kita dan mungkin terlewati begitu saja oleh kita, oleh
pemahaman kita, karena kita mungkin menganggapnya sebagai sebuah hal yang remeh dan tidak
ada manfaatnya bagi kita sama sekali. Telah ribuan kisah hidup orang-orang suci dan
berbagai kebijaksanaan kita baca, namun kita gagal memahami pesan yang terkandung di
dalamnya. Apalagi menerapkannya dalam perilaku kehidupan kita.  Kita sudah khatam al-Quran
berkali-kali namun tidak ada cahaya keindahan sama sekali yang memancar dari wajah dan
kepribadian kita, tidak ada jaminan sama sekali bahwa kita benar-benar telah memahami al-
Qur-an, telah benar-benar menyelami ayat-ayat Alloh swt.  Sudah ribuan bahkan jutaan
Sholawat yang kita baca, namun sama sekali tidak terpancar berkah dari Sholawat kita
melalui kepribadian kita, sikap kita, cara pandang kita, pemahaman kita tentang empan-
papan, pantes ora pantes dan berbagai macam hal lainnya yang menunjukan bahwa kita ini
seorang Muslim (orang yang berserah diri pada Alloh semata). Apa lagi Mukmin (orang yang
menjadikan Alloh sebagai dasar semua perilaku hidup dan tujuan hidupnya) sebab kita hanya
membaca al-quran, hanya membaca Sholawat,
bukan menyelami ayat-ayat al-Quran, bukan bersholawat dengan hati dan jiwa kita. Kita
berulang kali tertipu oleh keindahan hiasan-hiasan yang seolah-olah kita anggap sebagai
sebuah kebenaran, namun kita tidak tahu bahwa sejatinya itu adalah kubangan racun dan
berbagai macam marabahaya. Kita menghakimi dan menilai hanya yang tampak dari mata wadag
kita tanpa mau ngerti bahwa selalu ada hal yang dirahasiakan oleh Alloh, selalu ada hal-hal
di luar penalaran dan pemikiran kita. Kita hanya meyakini hukum-hukum dan menganggapnya
sebagai patokan dan tujuan hidup kita semata, sampai lupa diatas hukum ada akhlak kemudian ada Hubb ada cinta.
Kita ini ”Generasi hiasan”  yang hanya kagum pada hal-hal indah yang tampak oleh mata kita,
yang semu pada kesejatianya, yang hanya takjub oleh hal-hal yang fana dan tipuan semata.
Kita sudah tidak bisa lagi membedakan mana perintah, mana anjuran, mana sanepo mana
kasunyatan, mana kasih sayang dan mana kemarahan, mana ide dan mana sindiran, tidak lagi
paham mana istidraj dan mana rohmat.  Tidak lagi ngerti tradisi dharma atau amal sholeh,
yang kita pahami hanyalah obsesi hasil, yang menjadi fokus kita adalah pamrih-pamrih
pribadi dan keuntungan diri sendiri.   Kita menyadari bahwa kita ini seorang musafir, namun
bekal yang kita bawa hanya sebatas kain sarung yang sudah robek dan bukan bekal keyakinan
kita kepada Alloh dan cinta kita kepada Rosululloh saw. Perjalanan teramat sangat panjang,
namun bekal yang kita persiapkan hanya omong kosong belaka, hanya amarah dan hawa nafsu,
hasrat serta hanyalah hiasan yang di taburkan oleh hawa nafsu, kita gagal memahami ajaran
guru kita, tentang rasa, roso, perasaan, soal hati, soal ikhlas, sabar, yakin dan waspada,
soal takonono atimu dan macam-macam hal lainnya. Kita diajari berulang kali tentang
bagaimana mengenali diri sendiri dan memahami shaf-shaf nafsu kita sendiri, namun kita
terjebak pada keindahan dari tingkat nafsu pertama yakni amarah. Karena kita terlalu bangga
dengan prasangka-prasangka, maka kita lupa menemukan nikmatnya berbuat baik, nikmatnya
bekerja sama dan berjama’ah.  Karena kita terlalu bangga dengan ilmu-ilmu yang kita miliki,
namun belum tentu kita pahami sampai ke ujungnya, maka kita menjadi lupa pada kekurangan
dan dangkalnya pemahaman kita. Karena terlalu yakin akan kecerdasan dan kepintaran yang
dianggap kita punyai, maka kita lupa akan kemungkinan bodoh, kemungkinan konyol kita.  Dan
yang paling parah dari kita adalah kurangnya akhlak, kurangnya rasa ta’dhim, kurangnya
ridlo kita terhadap guru kita, orang tua kita, terhadap Rosululloh dan bahkan terhadap
Alloh swt. Bukankah Mursyid kita selalu mengajari kita untuk selalu bertafakur, untuk
selalu tabayun, untuk selalu muhasabah..? lalu apa yang kita pelajari selama ini..? apa
yang kita pahami..? apa yang kita tafakuri, benarkah kebodohan dan kekurangan diri sendiri
atau kekurangan orang lain..? bukankah guru kita selalu bilang teruslah berguru dan jangan
berhenti belajar, yakinkah kita memahami ucapannya tersebut.
Kita berguru dengan pamrih agar supaya disayang guru kita, agar kita dekat dengan
berkahnya, tidak cuma itu saja tingkat kurang ajarnya kita, sampai-sampai Sholawat yang
kita baca pun kita pamrihi dengan dan demi keselamatan diri kita, demi keuntungan pribadi
kita. Jika tidak karena kepentingan pamrih pribadi kita, maukah kita berkhusyuk membaca
al-Qur’an dan bersholawat.? Tidakkah guru kita mengajarkan apa itu tradisi syafa’at..? yang
jika kita bersholawat tak usah kita
pamrihipun secara otomatis kita akan dinaungi oleh kasih sayang Syafa’at Rosululloh dan
rohmanrohim Alloh swt.  Tidakkah pernah kita baca surat al-anfal ayat 33 kurang pahamkah
kita akan ayat tersebut..? Masih teruskah kita mau berpamrih demi kepentingan pribadi
kita..? Masikah engkau yakin untuk tidak terus berguru dan berhenti belajar..? Alloh ya
Hafied, Allohul Kaafi, ketentraman bersama kalian.

DIMENSI HENING
kita ini ”generasi hiasan” yang hanya kagum pada hal-hal indah yang tampak oleh mata kita,
yang semu pada kesejatiannya, yang hanya takjub oleh hal-hal yang fana dan tipuan semata,
kita sudah tidak bisa lagi membedakan mana perintah, mana anjuran, mana sanepo mana
kasunyatan, mana kasih sayang dan mana kemarahan, mana ide dan mana sindiran, tidak lagi
paham mana istidraj dan mana rohmat, tidak lagi ngerti tradisi dharma atau amal sholeh,
yang kita pahami hanyalah obsesi hasil, yang menjadi fokus kita adalah pamrih-pamrih pribadi dan keuntungan diri sendiri.

ANGKRINGAN SUFI
Bismilahirohmanirohim : Urip Kog Pamrih Wae…(Bagian kedua-tamat)
Kang Sarengat  :   Loh bukannya punya harapan itu baik Kang..? bukankah hal yang wajar jika
kita berharap mendapat pahala dan masuk surga, setahuku banyak ayat dan hadits yang
menerangkan soal itu to kang..?
Kang Hakekat    : Iya benar itu, tapi apa ya mau berhenti pada pahala, surga dan neraka saja.
Kang Sarengat  : Maksudnya bagaimana Kang…?
Kang Hakekat   : Punya harapan itu bagus, selagi harapan itu tidak jadi tujuanmu, pahala
tidak jadi nabimu dan surga tidak jadi tuhanmu, harapan itu bagus selama
itu, tidak kau jadikan pamrih pribadimu, tidak jadi pamrih kepentingan egoismu…….
Kang Sarengat  : Walah jebule kok rumitmen to urep karo ibadah kui……
Kang Hakekat   : Rumit bagaimana..? Rumit ataukah engkau yang tidak siap melepas pamrih-
pamrih dari hati dan tujuanmu… Kang…?
 Kang Sarengat : Lha itu susah kayaknya Kang, sudah jadi kebiasaan kita sejak kecil
diajarkan soal pahala dan surga kok kang, bukannya aku tidak siap…….
Kang Hakekat   : Lalu apakah selamanya kita akan jadi anak kecil..? apakah selamanya
pemahaman tentang ibadah dan tentang islam kita hanya sebatas taman
kanak-kanak belaka..? apakah engkau tidak pernah diajari untuk bersyukur
sehingga hidup dan tujuanmu hanyalah pamrih melulu..? yang siap untuk
tidak berpamrih itu hanya otakmu, sedangkan hati dan nalurimu, jauh dari
cerminan siapnya seorang yang telah menemukan keikhlasan dan kefakiran
berserah dirinya seorang hamba di hadapan Alloh, yang siap hanyalah
ucapan dan teorimu sedangkan pikiran dan hatimu mengerundel panjang
pendek soal itu.  Saudaraku, pahala dan surga itu bukan tujuan, bukan pamrih, sebab  jika 
ikhlas dan ridlo terhadap Alloh, maka Alloh tentu akan menjamin hidup kita  dunia akherat,
jika kita cinta kepada Rosululloh. saw maka tentu Alloh. swt  akan menaburi dan menaungi
hidup kita dunia akherat dengan Kasih Sayang Rohman RohimNya, kalau kita menghilangkan        
pamrih kita dalam melakukan kebaikan, maka akan kita temukan kenikmatan, dan jika sudah
bertemu  dengan nikmatnya, maka kita akan kecanduan melakukan kebaikan.
Kang Sarengat  : Wah lha iki……..                                

0 komentar:

Posting Komentar