Sabtu, 11 April 2015

EDISI - 56 KAMIS


Edisi,56
Kamis 5 Pebruari 2015
   
NARIMO
“ Sayyiduna Muhammad Rosuulullah Lil Alamin”(Junjungan kita Kanjeng Rosul Muhammad S.A.W
adalah utusan Allah untuk seluruh alam)
Maksud dari pada NARIMO itu amatlah luas. Menyuruh ataupun  menyerukan percaya yang betul-
betul akanadanya kekuasaan yang melebihi kekuasaan manusia dan seluruh makhluk apapun,
menyuruh sabar menerima ketentuan Ilahi sementara ketentuan itu tidak menyenangkan diri
serta mengenakan hati, dan bersyukur jika dipinjami nikmat-Nya,  sebab lenyap juga nikmat
itu kelak karena sifatnya hanya pinjaman. Dalam hal ini juga berkewajiban bekerja, sebab
Alloh swt pun bekerja, meski tidak seperti cara mahkhluknya bekerja. Kita bekerja bukan
lantaran meminta tambahan yang telah ada, dan tak merasa cukup pada apa yang ada dalam
tangan, tetapi kita bekerja, sebab orang hidup mesti bekerja. Pengejawantahan dari bekerja
ya beribadah itu sendiri sebenarnya, jika semua dikembalikan ke niatnya. Orang yang
mempunyai sifat Narimo (Qonaah) memagar hartanya sekedarnya saja, apa yang ada dalam
tangannya dengan maksud agar tidak menjalar fikirannya kepada yang lain.  Manusia tidak
dilarang bekerja mencari penghasilan, tidak disuruh berpangku tangan dan malas lantaran
harta telah ada, kerena yang demikian bukan narimo (qanaah), yang demikian adalah
kemalasan. Bekerjalah, kerena manusia dikirim ke dunia buat bekerja.
Jadi manusia bekerja jangan lantaran memandang harta yang telah ada belum mencukupi, tetapi
bekerja lantaran orang hidup tak boleh menganggur. Disinilah kita harus jeli dan
cermat, pekerjaan yang bagaimana yang wajib kita kerjakan...? sehingga hal ini kerap
memunculkan salah sangka dalam kalangan mereka yang tidak faham penjabaran luas dari narimo
dalam ajaran agama tersebut.  Justru kadang mereka lemparkan kepada agama suatu tuduhan,
bahwa agama seakan memundurkan bergeraknya hati, memarjinalkan pemahaman, sehingga seakan-
akan bahwa Agama membawa manusia malas, sebab dia senantiasa mengajak umatnya membenci
dunia seakan hanya terkurung dalam mihrab dalam pandangan sempit, atau terima saja apa yang
ada, terima saja nasib, jangan berikhtiar melepaskan diri. Sebab bangsa yang zuhud
terlempar dalam kemiskinan katanya..! Tuduhan demikian muncul lantaran salah prasangka
pemeluk agama itu sendiri.  Mereka sangka bahwa yang bernama NARIMO (qanaah) ialah menerima
saja apa yang ada, sehingga mereka tidak berikhtiar lagi.  Di dalam buletin yang pernah
kita bahas bahwa kepasrahan hidup yang berkaitan dengan Narimo (Qonaah) itu mengandung lima
perkara yaitu :
1. Menerima dengan rela akan apa yang ada.
2. Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas, dan berusaha.
3. Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan.
4. Bertawakal kepada Tuhan.
5. Tidak tertarik oleh tipu daya dunia.
Dari perkara-perkara tersebut saya rasa sudah cukup jelas dalam pembahasannya walau
disampaikan secara sederhana, permasalahannya apa kita sudah mengaplikasikan daripada
pemahaman yang telah kita pelajari. Sudahkah kita bersikap narimo...? sudahkah kita
menjalankan konsep narimo, Kembali kepada narimo tadi, maka yang sebaik-baiknya obat buat
menghindarkan segala keraguan dalam hidup, ialah ya “narimo”. Siapa yang tidak berusaha
narimo, artinya dia tak percaya takdir, tidak sabar, tidak tawakal. Walaupun keadaan kacau
dan sangat membingungkan, kita mestinya selaras dan dalam koridor ketauhidan walau harus
bersusah payah dan kebingungan itu sendiri.  Ini semuanya tidak terjadi pada orang yang ikhlas dan ridlo menerima apa yang
tertentu dalam azal. Meskipun susah atau senang, miskin atau kaya, semua hanya pada
pandangan orang luar.
Sebab dia sendiri adalah nikmat, dan kekayaan dalam perbendaharaan yang tiada ternilai
harganya, “pada lahirnya azab, pada batinnya rahmat”. Jika ditimpa susah, dia ikhlas sebab
dapat mengingat kelemahan dirinya dan kekuatan Robbnya sehingga merasakan dihujani rahmat,
kemudian semakin meningkatkan rasa syukurnya. Jadi narimo adalah tiang kekayaan yang
sejati, gelisah adalah kemiskinan yang sebenarnya. Tidak dapatlah disamakan jurang dengan
bukit, tenang dengan gelisah, kesusahan dan kesukaan, kemenangan dan kekalahan,  akan
tetapi dengan hal yang berbeda semakin jelas bahwa khasanah sifat Rohman-Rohimnya Alloh swt
sangatlah tak terbatas.  Keadaan-keadaan yang terpuji itu terletak pada narimo (qanaah),
dan semua yang tercela ini terletak pada gelisah. Kenapa gelisah, sebab menunjukan sikap
keragu-raguan terhadap sifat ghofuru rohimnya Alloh, menunjukkan bahwa kita telah terjebak
dalam keputus asaan itu sendiri, mestinya ketika bisa narimo dengan segala ketentuan Alloh
swt, disini sudah tak perdulikan apapun, yang penting Alloh tidak marah gitu aja. Masih
ingatkah kisah Al Halaj, masih ingatkah kisah cucu baginda Rosull Muhammad, beliau-beliau
contoh yang nyata dan masih banyak tokoh-tokoh lainnya, yang sanggup menerima dan ikhlas
dengan takdir kematiannya, walau secara pandangan umum sangat sulit diterima, namun
Beliau-beliau contoh dari ratusan tokoh-tokoh yang mampu memandang dengan konsep dan
sekenario sifat rohman rohimnya    Allah swt, kembali kediri kita.... sanggupkah kita
berproses yang demikian....???

DIMENSI HENING
Mengingat kembali tujuan hidup di dunia. Karena hal ini akan memacu insan untuk beramal
secara sempurna. Sedangkan ketidaksabaran (isti’jal), memiliki prosentase yang cukup besar
untuk menjadikan amalan seseorang tidak optimal. Apalagi jika merenungkan bahwa
sesungguhnya Allah akan melihat “amalan” seseorang yang dilakukannya, dan bukan melihat
pada hasilnya.   (Lihat QS. 9 : 105)

ANGKRINGAN SUFI
Bismillahirohmanirohim :   “DIAM ITU JUGA BEKERJA”
Ada kalanya diam itu jauh lebih baik dan bijak, sebab diam bukannya tidak berfikir ataupun

tidak mengerti, akan tetapi mengendapkan seluruh permasalahan yang dihadapinya, agar mampu

menyelaraskan sebuah keadaan, sebuah kenikmatan dan berakhir pada rasa syukur yang
mendalam, karena apa yang di renungkan ketika dalam diam dapat menimbulkan energi batiniah
untuk mengerjakan sesuatu dengan totalitas karena sudah memahami harus dan bagaimana
berbuat, lebih-lebih memahami dimana ia harus bergantung, untuk menyerahkan segala bentuk
urusannya, sehingga tanpa ragu untuk bekerja melakukan sesuatu.
Kang Sarengat    : Kang...... sekarang begini bagaimana kalau diamnya memang blass...
tidak tau alias ora mudeng.
Kang Hakekat    : He..hehe.. Kang..kang, sampean kok yo aneh sekali, pertanyaannya 
Tapi yo ora popo, misalkan bab apa tho Kang... 
Kang Sarengat    : Yo bab yang di atas tadi.. tentang bergantung dan lantas bekerja, itu
gimana...?  Bukankah kita mestinya berikhtiar dulu baru tawaqal Kang...
makanya saya bingung sebab yang selama ini aku pahami demikian.
Kang Hakekat    : Hemmm...begitu, khan ya jelas tho... sebab kalau kita kerja (ikhtiar)
dulu lha mau bergantung kepada siapa, apa Sampean yakin dengan yang  
dikerjakan sampean pasti berhasil dan sukses, katakanlah berjalan dengan lancar tanpa
menyadarkan segala urusan kepada Gustialloh terlebih dahulu, perintahnya jelas khan...
dahulukan baca basmalah ataupun berdoa dahulu dalam mengerjakan sesuatu, nah.. dengan
demikian jelas kewajiban kita tawaqal dulu baru berikhtiar (bekerja).
Kang Sarengat    : Oalah jadi begitu... ya..ya... Kang mulai paham...
Kang Hakekat    : Ya itulah Kang kadangkala untuk paham khan butuh merenung.... dan
renungan itu butuh diam dan ketenangan agar menemukan pemahaman, dan yang perlu kita
cermati ketika kita merenung, ketika kita diam, sejatinya sedang berusaha menghadirkan rasa
bergantungnya terhadap sang Maha Pemurah,  sebab ia sadar dan memang membangun kesadaran
tidak ada daya dan kekuatan selain dari Sang Maha Perkasa itu tadi, emang kita bisa mikir
kalau tidak karena kekuatan Gustialloh....??
Kang Sarengat    : Hehehe... ya Kang mudeng-mudeng.... (sambil nyengir)...?!!!



0 komentar:

Posting Komentar