Kamis, 09 April 2015

EDISI - 19 BURDAH

Edisi 19 Burdah
Kamis 11 September 2014

“Jangan hanya sibuk bercita-cita”
yaa Robbi sholli ala Muhammad, yaa Robbi sholli alaih Fasrif hawaha wa hadhir an tuwalliyahu
Innal hawa ma tawalla yusmi aw yasimi (Maka dayagunakanlah hawa nafsumu
Jangan ikuti bujuk rayunya untuk sesatkanmu Sebab jika kau tenggelam didalamnya
Niscaya engkau akan hilang tak tentu arahnya)
Pernahkah kita berfikir meski hanya sejenak, satu atau dua menit tentang kenapa kita sudah
berambisi begitu besar, bercita-cita sangat tinggi dan kadang menghalalkan segala cara
untuk mencapainya..? pernahkah kita sadari kadang kita begitu tenggelam di dalamnya di
dalam sumur gelap ambisi yang berisi pasir hisap ketidak puasan. Ataukah kita sudah benar-
benar tidak menyadarinya sama sekali.? Lalu apakah kita sadari sesungguhnya apa itu cita-
cita, apa itu ambisi itu..? mengertikah akan makna dari apa yang kita cita-citakan dan
ambisi. Sadarkah kita bahwa cita-cita, ambisi, harapan itu juga merupakan sebuah bentuk
dari hawa nafsu.? lalu kenapa bisa begitu..? kenapa cita-cita dan ambisi, harapan  itu
sebuah bentuk dari hawa nafsu apakah ada buktinya.  Jika itu yang kau tanyakan maka akan
kutanya balik” Apakah ada cita-citamu, ambisimu yang timbul jika bukan dari keinginanmu
untuk mendapat sesuatu..? untuk mencapai sesuatu..? untuk tidak kehilangan sesuatu..? entah
itu dengan cara baik dan benar ataupun tidak, yang penting cita-citamu tercapai, entah
sesuai perintah Alloh dan Rosululloh saw, ataukah tidak, yang penting jika tidak tercapai
kita akan marah-marah dan menggerundel panjang pendek bahwa Alloh tidak adil, bahwa
Rosululloh tidak menyafa’ati, bukankah begitu cara pikirmu..? lantas apa namanya itu jika
bukan hawa nafsu..? Saudaraku, pernahkah kau dengar bahwa tentang sebuah sejarah yang
menceritakan bahwa orang-orang besar para Rosul, Nabi, Aulia, orang-orang suci mereka itu
bercita-cita, berambisi..? pernahkah kau temui bahwa para walisongo bercita-cita jadi aulia,
jadi raja, jadi mentri, jadi lurah atau apa saja sebelumnya..? rasa-rasanya saya kok belum
pernah mendengarnya.  Apakah menjadi manusia itu sebuah cita-cita..? apakah menjadi
khalifah dimuka bumi itu sebuah ambisi..? apakah guru-guru kita mengajarkan kita untuk
bercita-cita..? ataukah Syech Imam Bushiri dahulu kala bercita-cita untuk mendendangkan
burdah..? sepanjang pengetahuanku, mereka tidak bercita-cita, namun mereka semua bekerja
keras untuk memenuhi kewajiban hidupnya sebagai Khalifah.  Mereka semua bekerja sangat
keras dan serius untuk menerapkan ”konsep Rohmatan lil alamin” yang sudah ditetapkan Alloh
dan dicontohkan oleh Baginda Rosululloh saw, dan tidak saudaraku, Imam Bushiri tidak pernah
bercita-cita untuk mengarang dan mendendangkan Sholawat Burdahtul-madih, akan tetapi beliau
bekerja sangat keras menjalani proses cintanya kepada Rosululloh Muhammad saw,
mengaplikasikannya dalam hidupnya. Sehingga dengan sendirinya untaian kalimat-kalimat indah
sholawat burdah mengalir indah dan abadi.
Namun kita ini, jangankan dalam hal materi, sedangkan ketika beribadah sholat saja kita
bercita-cita muluk-muluk ingin masuk surga..? meski begitupun Alloh ya tidak
memepermasalahkannya dan akan mengabulkannya, namun dengan catatan tidak akan bertemu
dengan Alloh di pertemuan agung dengan-Nya, sebab cita-cita kita yang hanya mengharapkan
pahala dan surga semata.  Dan ketika setelah begitu lama di surga, kitapun mulai bertanya-
tanya “kenapa kita belum juga bertemu dengan Alloh..? maka Alloh akan balik bertanya kepada
kita” bukankah dahulu semasa engkau hidup di dunia, ketika engkau beribadah hanya
mengaharapkan surga-KU, bukan mengharapkan pertemuan dengan-KU “ kalau begitu sekarang
habiskanlah surga-Ku” (bukankah ini ada haditsnya) lalu apakah bercita-cita, berambisi atau
mempunyai harapan itu salah..? apakah tidak boleh....
hal ini sama dengan pertanyaan apakah makan nasi, minum kopi, merokok, mengagumi keindahan
ciptaan Alloh, tidur, tamasya itu salah dan tidak boleh..? lantas harus bagaimana..? Hal
itu bukan lagi soal salah-benar, akan tetapi lebih kepada soal pantas dan tidak pantas,
soal seberapa banyak kadar dan takaran yang kita tentukan, soal kita sadari ataukah tidak,
bahwa ambisi dan cita-cita adalah bentuk halus dari hawa nafsu, adalah soal lebih kepada
apa yang kau prioritaskan di dalam hidupmu itu.  Apakah Alloh dan Rosululloh Muhammad saw,
ataukah ambisi dan cita-citamu..? dan yang membuat tidak benar, baik dan indah adalah soal
kadar dan takarannya.  Silahkan saja bercita-cita setinggi apapun saja, asalkan tidak
menjadikan dirimu justru menjauh dari Alloh dan Rosululloh, sehingga engkau melupakan
kewajibanmu sebagai seorang hamba dan khalifah di bumi dikarenakan terlalu fokus kepada apa
yang kau cita-cita dan ambisikan. Alloh dan Rosululloh mengajarkan kepada kita untuk terus
berjalan, untuk terus berproses, untuk terus berjuang, tanpa pamrih dan berharap kepada
hasil akhirnya, bukan mandek kepada cita-cita dan teori-teori tentang ambisi dan cita-cita,
sebab hasil akhir adalah mutlak hak Alloh, terserah Alloh mau menentukan bagaimananya, dan
penilaian Alloh itu sangatlah tidak sama dan  sesuai dengan harapan dan penilian kita. 
Sebab kadang sesuatu yang kita nilai remeh atau tiada nilainya justru itulah faktor yang
menyebabkan kasih sayang Alloh menaburi hidup kita.  Dan ketika
kita menua yang paling penting bukanlah sebanyak apa kita bercita-cita.  Ataukah ambisi apa
yang telah kita wujudkan dan capai, sebab itu bukanlah titik puncaknya, bukan dimensi
tertingginya, yang jadi hal paling penting nantinya. Apakah kita sudah benar-benar
meneguhkan hati dan kiblatnya hanya kepada Alloh dan Rosululloh Muhammad saw, sudah
mengenal dengan yakin siapakah diri kita, apa kewajiban kita, sudah teguhkah syahadat kita.
Dan pada akhirnya hidup kan hanya soal bersabar, menjalani proses, iramanya kemudian
bersyukur sebanyak-banyaknya dan teruslah berguru jangan berhenti untuk belajar.
Alloh yaa Hafied ,Allohul Kaafi, ketentraman bersama kalian.

DIMENSI HENING
*Dari Umar bin al-Khaththob radhiallohu 'anhu, beliau berkata, Rosululloh shallallohu
'alaihi wa sallam bersabda, "Bahwasanya perbuatan-perbuatan itu dengan niat, dan
sesungguhnya setiap orang bergantung dengan apa yang ia niatkan.
Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Alloh dan Rosul-Nya, maka hijrahnya kepada Alloh
dan RosulNya.
Dan barang siapa yang hijrahnya untuk dunia yang ingin ia perolehnya, atau untuk wanita
yang ingin ia nikahinya, maka hijrahnya kepada apa-apa yang ia berhijrah kepadanya".

ANKRINGAN SUFI
Bismilahirohmanirohim:1400 tahun yang lalu…
Kang  Hakekat   :  Saudaraku tahukah kamu bahwa 1400 tahun yang lalu ada seseorang yang 
mencintaimu..?
Kang Sarengat   :  Ah kang, mbok ya ojo meden-medeni to kang..?
Kang Hakekat    :  lho menakut-nakuti bagaimana maksudmu to…?
Kang Sarengat   :  1400 tahun yang lalu yo aku, kamu belum lahir to kang, la kok kamu ini
tahu-tahu ngomong bahwa pada saat itu ada seseorang yang mencintaiku, ah jangan bercanda to
kang.
Kang Hakekat    :  saya tidak bercanda kang, serius ini, beneran..
Kang Sarengat   :  lha kalu begitu kamu tahu dari mana kang..?
Kang Hakekat    :  wah bagaimana kamu ini, lawong kamu sendiri sering ngaku-ngaku kalau
mencintai ”Beliaunya” itu kok, masa  malah tidak tahu, pie to jane..??
Kang Sarengat   :  la terus siapa to..? semakin penasaran aku malahan
Kang Hakekat    :  Beliau adalah Rosululloh Muhammad saw, 1400 tahun yang lalu beliau
memintakan maaf  kepada Alloh, menangisi umatnya sesudah nanti beliau tiada, 1400 tahun
yang lalu Beliau tidak kenal kita, bahkan kita belum lahir kedunia akan tetatpi Beliau sangat serius mengurusi nasib kita, sangat bekerja keras memeperjuangkan nasib kita umatnya dihadapan Alloh, dengan perjuangan tak pernah putus dan tidak bermalas-malasan, namun kita umatnya saat ini yang dulu beliau tangisi, yang beliau perjuangkan sepenuh cinta, malah enak-enakan terhadap diri dan nasibnya, tidak berpikir apakah selamat dan aman tidak nasibnya di hadapan  Alloh ataukah tidak, malah sibuk mem ”bidah”kan  sholawat kepada baginda  Rosululloh yang hatinya selembut salju itu, malah mengadaikan  dirinya dengan picisanya materi dunia,sibuk menghukumi sesamanya tanpa mau mencari dan meneliti kebenaranya terlebih dahulu dan saling berwasiat  soal sabar berbuat baik apalagi saling mengasih sayangi.coba kau katakan sekali lagi kang, bahwa apa yang ku ucapkan tadi   bercanda dan tidak serius,tak cucup mbun-mbunanmu tenan kang!!!!
Kang Sarengat   :  terdiam dan tidak tahu harus berkata apa.

0 komentar:

Posting Komentar